PIAGAM JAKARTA
Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh  sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak  sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. 
Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah  kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat  Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang  merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. 
Atas berkat rahmat Allah yang maha kuasa dan dengan didorongkan oleh  keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat  Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. 
Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara  Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah  darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan  kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang  berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka  disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu  Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang berbentuk dalam suatu susunan  Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar  kepada : Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi  pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan berada,  persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat  kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan  suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jakarta, 22 Juni 1945
Ir. Soekarno
Drs. Mohammad Hatta
Mr.A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakkir
H.A. Salim
Mr. Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr. Muhammad Yamin
————————————————–
Jumat, 22 Juni 2007
Menjaga Spirit Piagam Jakarta
Oleh :
M Fuad Nasar 
Anggota Badan Amil Zakat Nasional
Tanggal 22 Juni mempunyai arti istimewa bagi seluruh bangsa  Indonesia. Pada tanggal itu dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha  Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tercapai sebuah konsensus  nasional dan gentlemen agreement tentang dasar negara Republik  Indonesia. Konsensus nasional yang mendasari dan menjiwai Proklamasi  Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu dituangkan dalam suatu naskah yang oleh  Mr Muhammad Yamin disebut Piagam Jakarta.
Titik kompromi dimaksud terutama tercermin dalam kalimat, ‘negara  Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasar kepada  ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi  pemeluk-pemeluknya’. Kalimat ini merupakan rumusan pertama lima prinsip  falsafah negara yang oleh Soekarno dalam pidato 1 Juni 1945 dinamakan  Pancasila.
Dokumen politik tanggal 22 Juni 1945 itu disusun dan ditandatangani  oleh panitia kecil yang dibentuk oleh BPUPKI. Anggotanya adalah Ir  Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso,  Abdoel Kahar Moezakir, HA Salim, Mr Achmad Soebardjo, Wachid Hasjim, dan  Mr Mohammad Yamin. Waktu itu, Ir Soekarno selaku pimpinan rapat dengan  segenap kegigihannya mempertahankan Piagam Jakarta sebagaimana dapat  dibaca dalam risalah sidang BPUPKI.
Prawoto Mangkusasmito dalam bukunya Pertumbuhan Historis Rumus  Dasar Negara dan Sebuah Proyeksi (1970), menulis, “Timbul sekarang  satu historische vraag, satu pertanyaan sejarah, apa sebab  rumus Piagam Jakarta yang diperdapat dengan susah payah, dengan memeras  otak dan tenaga berhari-hari oleh tokoh-tokoh terkemuka dari bangsa  kita, kemudian di dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada tanggal  18 Agustus 1945 di dalam beberapa menit saja dapat diubah.”
Dalam buku Sekitar Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945  (diterbitkan 1969), Bung Hatta menceritakan apa yang dialaminya pada  sore hari 17 Agustus 1945 sebagai berikut. “Pada sore harinya saya  menerima telepon dari tuan Nisyijima, pembantu Admiral Mayeda  menanyakan, dapatkah saya menerima seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut),  karena ia mau mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi  Indonesia. Nisyijima sendiri akan menjadi juru bahasanya. Saya  persilakan mereka datang. Opsir itu yang saya lupa namanya datang  sebagai utusan Kaigun untuk memberitahukan dengan sungguh-sungguh, bahwa  wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah-daerah yang dikuasai  oleh Angkatan Laut Jepang, berkeberatan sangat terhadap bagian kalimat  dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi ‘Ketuhanan dengan  kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’. Mereka  mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengenai  rakyat yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu di  dalam suatu dasar yang menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti  mengadakan diskriminasi terhadap golongan minoritas. Jika diskriminasi  itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik  Indonesia.
Bung Hatta yang menerima kabar penting itu, masih punya waktu semalam  untuk berpikir. “Karena opsir Angkatan Laut Jepang itu sungguh-sungguh  menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula  semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh dan  berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan  saya. Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun  lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia  Merdeka bersatu dan tidak terbagi-bagi. Karena begitu serius rupanya,  esok paginya tanggal 18 Agustus 1945, sebelum sidang panitia Persiapan  bermula, saya ajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasjim, Mr Kasman  Singodimedjo, dan Mr Teuku Hasan dari Sumatera mengadakan suatu rapat  pendahuluan untuk membicarakan masalah itu. Supaya kita jangan pecah  sebagai bangsa, kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang  menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan Ketuhanan Yang  Maha Esa.” ungkap Hatta.
Tetap hidup
Perjanjian luhur pun disepakati antara golongan Islam dan golongan  kebangsaan serta golongan lainnya yang telah dicapai melalui Piagam  Jakarta 22 Juni 1945. Pada 18 Agustus 1945 para pemimpin Islam bersedia  mencoret kata-kata, ‘dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi  pemeluk-pemeluknya’, setelah kata ‘ke-Tuhanan’. Ini merupakan cermin  sikap kenegarawanan dan komitmen pada persatuan bangsa yang tiada  bandingnya sepanjang sejarah Republik Indonesia.
Dalam perkembangan di kemudian hari, sehubungan Dekrit Presiden 5  Juli 1959 yang memberlakukan kembali Undang-Undang Dasar 1945, dalam  konsiderans dekrit, Presiden Soekarno atas nama rakyat Indonesia  menyatakan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjiwai  Undang-Undang Dasar. Pertanyaan yang mendasar diajukan oleh dua orang  anggota DPR yaitu Anwar Harjono (Masyumi) dan HA Sjaichu (NU) kepada  pemerintah yang diwakili Perdana Menteri Juanda menyangkut rencana  kembali ke UUD 1945 serta maksud dari pengakuan Piagam Jakarta dan  pengaruhnya dalam UUD 1945. Jawaban resmi pemerintah yang disampaikan  oleh Perdana Menteri Juanda adalah bahwa pengaruh Piagam Jakarta  tersebut tidak mengenai Pembukaan UUD 1945 saja, tetapi juga mengenai  Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian perkataan ‘Ketuhanan’ dalam Pembukaan  UUD 1945 dapat diberikan arti ‘Ketuhanan dengan kewajiban bagi umat  Islam untuk menjalankan syari’atnya sehingga atas dasar itu dapat  diciptakan perundang-undangan bagi para pemeluk agama Islam, yang dapat  disesuaikan dengan syari’at Islam’.
Ikhtisar 
 - Piagam Jakarta yang sangat bersejarah semakin diingkari oleh para  elite masa kini.
 - Ruh keagamaan dan kebangsaan yang terkandung dalam dokumen tersebut  tidak lagi menjadi pijakan dalam mengelola negara.
 - Hal ini pun membuka pintu bagi masuknya intervensi asing secara bebas.
 - Dampak dari intervensi yang terlampau bebas itu pun terasa sangat  menyusahkan.